Dua orang sahabat, Al-Farisi
dan Al-Baghdadi, belajar di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Segala
rasa suka dan duka mereka alami bersama. Setelah menyelesaikan studi dan
keduanya harus berpisah untuk kembali daerah masing-masing, mereka saling
mengikat janji untuk tetap memupuk persahaban, saling mendoakan dan saling
membantu. Keduanya juga berjanji agar masing-masing menjadikan sahabatnya
sebagai orang pertama yang dimintai pertolongan ketika ia mengalami kesulitan apapun.
Bertahun-tahun keduanya tidak
bertemu, hingga suatu ketika, Al-Baghdadi masalah besar, usahanya jatuh
bangkrut. Ia terlilit utang besar hingga terancam dipenjara karenanya. Ia pun
teringat sahabat karibnya, Al-Farisi.
Al-Baghdadi pun
memutuskan untuk pergi menemuinya sahabat-Nya. Al-Farisi menyambut hangat
kedatangan sahabatnya, Al-Baghdadi, layaknya ia menyambut seorang penguasa. Ia
menyiapkan jamuan dna tempat istirahat terbaik untuk sahabatnya. Kemudian
Al-Baghdadi kembali pulang setelah mendapatkan hal yang ia butuhkan.
Roda kehidupan terus
bergulir dan tahun pun berganti tahun. Al-Farisi pun mengalami masalah besar.
Sesuai perjanjian, ia pertama kali hanya meminta bantuan kepada sahabatnya,
Al-Baghdadi.
Ia pun pergi menuju ke
negeri sahabatnya, di Baghdad. Sesampainya di tempat, ia pun mengetuk pintu
rumah sahabatnya. Al-Baghdadi tidak mau membukakan pintu untuknya; melainkan ia
menyuruh pelayannya untuk memberitahukan sahabatnya bahwa ia sedang ada di
rumah.
Al-Farisi pun bersedih
dan memutuskan untuk kembali pulang. Ia sangat merasa kecewa, karena ia
mendapati sahabatnya, Al-Baghdadi, telah mengkhianati janjinya untuk saling
melindungi dan saling membantu. Ia berguman, “Semudah inikah sahabatku
mengkhiati janjinya! Beginikah cara ia membalas kebaikan yang pernah aku
berikan kepadanya?”
Di tengah perjalanan
pulang, ia bertemu dengan beberapa orang yang tidak dia kenal. Mereka mengaku
sedang dikejar-kejar oleh petugas keamanan negara. Mereka menitipkan sebuah kotak
kepadanya dan berkata, “Kami titipkan kotak ini kepadamu. Jika kami tidak
kembali dalam tempo dua hari, bungkusan ini
halal dan menjadi milikmu.”
Al-Farisi setuju untuk
menjaga barang yang mereka titipkan. Setelah tempo dua hari berlalu, mereka
tidak kunjung kembali. Maka, ia pun membuka bungkusan tersebut dan ternyata
isinya adalah perhiasan emas. Al-Farisi terpana, merasa bahagia dan bersyukur
kepada Allah swt. atas karunia yang melebihi apa yang semula ia bayangkan dari
sahabatnya.
Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya. Kembali ia mengalami hal aneh. Ia bertemu dengan seorang nenek
tua dan seorang putrinya.
“Wahai Fulan, kami hidup
sebatang kara. Tiada kerabat yang menanggung kehidupan kami. Ini adalah
putriku. Jika kamu berkenan dan tertarik dengannya, silahkan kamu menikahinya
dan bawalah kami pulang bersamamu.” Tutur Sang nenek.
Al-Farisi pun membuka
cadar yang menutupi muka sang gadis. Ternyata ia adalah seorang gadis yang
sangat cantik. Ia pun setuju untuk menikahinya. Ia pun pulang bersama dengan
seorang nenek dan seorang gadits cantik yang akan menjadi istrinya.
Kendati pun Al-Farisi
tidak mendapatkan bantuan yang ia butuhkan dari sahabatnya, Al-Baghdadi, namun Allah
swt. yang Maha Rahman, tidak pernah menyia-nyiakan sedikut pun kebaikan yang dulu
pernah dia lakukan untuk sahabatnya. Kini ia mendapatkan anugerah dari Allah
swt. berupa harta perhiasan dan seorang istri yang cantik dan solehah, tanpa ia
duga sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian,
perniagaan Al-Farisi kembali berjaya sehingga ia menjadi orang yang kaya. Namun sebaliknya, Al-Baghdadi
justru mengalami ujian berat untuk yang kedua kalinya. Perniagaannya kembali mengalami
kebangkrutan.
Al-Baghdadi pun teringat
sahabatnya, Al-Farisi. Ia pun kembali mendatanginya untuk meminta bantuan
darinya.
Sebagaimana semula,
Al-Farisi menyambut kedatangan sahabatnya dengan sambutan yang meriah. Bahkan
kali ini, ia mengundang seluruh sanak familinya. Namun, kali ini Al-Farisi
bermaksud ingin menyindir saudaranya, Al-Bagdadi, di hadapan seluruh
keluarganya, bahwa ia telah menyalahi janji persahabatan di antara mereka.
Mendengar sindiran
sahabatnya, Al-Baghdadi langsung berdiri berusaha untuk mengklarifikasi. Ia
berkata kepada seluruh yang hadir, “Dengarkan pernyataan saya, kemudian
silahkan kalian simpulkan betulkah saya terlah berkhianat kepada sahabatku ini!”
Kemudian ia menjelaskan,
“Ketika ia datang ke rumahku kala itu, sebenarnya saya ada di rumah. Namun,
saya tidak tega melihat saudaraku dalam keadaan bersedih. Saya tidak ingin ia menemuiku
untuk memohon bantuan dariku.”
Kemudian ia berkata, “Ketika
ia meninggalkan rumahku, ditengah perjalanan ia bertemu dengan beberapa orang
yang menitipkan sebuah kotak berisi perhiasan emas, dengan perjanjian kotak
tersebut akan menjadi miliknya ketika mereka tidak kembali. Ketahuilah bahwa
mereka adalah orang-orang suruhanku untuk mengantarkan tersebut untuk
saudaraku.”
“Setelah itu, ia bertemu
dengan seorang nenek tua beserta seorang putrinya yang sekarang telah ia nikahi..
Nenek tersebut adalah ibuku; dan gadis itu adalah adik kandungku sendiri.”
Subhanallah!!!
Hikmah dari kisah
Nilai ukhuwah islamiyah
harus senantiasa terjalin di antara kaum muslimin. Rasa saling mencintai,
saling membantu, saling menanggung, saling menghormati dan saling menjaga
kehormatan masing-masing, harus selalu terpupuk subur dalam keadaan apapun. Karena
ukhuwah merupakan simpul perdamaian dan kesejahteraan hidup yang terkuat,
setelah kekuatan iman kepada Allah swt.
Al-Baghdadi mencontohkan
nilai ukhuwah yang sejati, ketika ia tidak tega dan tidak ingin
menyaksikan sahabatnya dalam keadaan bersedih, muram karena ujian hidup yang
menimpanya.
Nilai inilah yang selalu
ditanamkan oleh Rasulullah saw. pada diri sahabatnya. Beliau bahkan menegaskan
bahwa ukhuwah sebagai barometer kesempurnaan iman seorang muslim. Beliau
bersabda:
ูุงَ ُูุคْู
ُِู ุฃَุญَุฏُُูู
ْ، ุญَุชَّู
ُูุญِุจَّ ِูุฃَุฎِِูู ู
َุง ُูุญِุจُّ َِْูููุณِِู. ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู ูู
ุณูู
“Seorang
tidak akan beriman (tidak mencapai
kesempurnaan
iman) hingga ia senang melihat saudaranya (seiman)
mendapatkan
apa yang ia senangi untuk dirinya sendiri.”
(h.r. Bukhari
& Muslim)
ุซَูุงَุซٌ ู
َْู َُّูู ِِููู َูุฌَุฏَ ุญَูุงََูุฉَ
ุงูุฅِูู
َุงِู: ุฃَْู ََُูููู ุงَُّููู َูุฑَุณُُُููู ุฃَุญَุจَّ ุฅَِِْููู ู
ِู
َّุง ุณَِูุงُูู
َุง،
َูุฃَْู ُูุญِุจَّ ุงูู
َุฑْุกَ ูุงَ ُูุญِุจُُّู ุฅَِّูุง َِِّููู، َูุฃَْู َْููุฑََู ุฃَْู
َูุนُูุฏَ ِูู ุงُْูููุฑِ َูู
َุง َْููุฑَُู ุฃَْู ُْููุฐََู ِูู ุงَّููุงุฑِ. ุฑูุงู ุงูุจุฎุงุฑู
ูู
ุณูู
.
“Tiga hal
yang apabila ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan
manisnya iman:
Ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya
kepada yang
lain; ketika ia mencintai saudaranya (seiman) hanya karena Allah;
dan ketika
ia benci (tidak suka) kembali ke dalam kekufuran
setelah
diselamatkan oleh Allah swt. darinya, sebagaimana
ia tidak
suka dilemparkan ke dalam api neraka.”
(h.r. Bukhari
& Muslim)